Menikah Karena Anak Duda Tanpa Malam Pertama Dan Janda Luar Biasa
เธญ่เธฒเธเนเธิ่เธกเนเธิเธก
:
"Triiiiiiiiittttt ... bruuuugggggg!” ๐
Dengan kepala dan kedua matanya, Rere menyaksikan mobil sedan yang ia kemudikan, terjun bebas dari jalan layang sesaat setelah ditabrak secara keji dari samping belakang, oleh sebuah truk yang sedari awal terus memepetnya.
“Mommyyyyyy!” ๐ฑ
Teriakan Adam, bocah laki-laki yang usianya belum genap tiga tahun dan kini duduk tepat di sebelah Rere, mengantarkan Rere pada kenyataan. Rere bergidik, jantungnya seolah lepas detik itu juga. Nyawa wanita berhijab merah jambu itu layaknya tengah dicabut paksa. Terlebih bersama sang putra, kini mereka benar-benar tengah berada di pusara antara ada dan tiada.
Di tengah kepanikan akibat keadaan tersebut, Rere mendadak teringat ancaman seseorang. Ancaman yang ia dapatkan sekitar tiga hari lalu.
“Jika kamu tetap berharap aku menjadi papahnya, jika kamu tetap tidak menikah dalam waktu dekat, ... Adam anakmu akan mati! Aku akan mengirim pembunuh bayaran untuk menghabis*inya!” tegas Cikho selaku ayah biologis Adam.
Di ruang besuk yang ada di lapas, kejadian tersebut terjadi tiga hari lalu. Saat itu, Cikho yang telah berpenampilan jauh lebih bersahaja dari sebelumnya, menatap Rere dengan bengis. Bersamaan dengan itu, layaknya biasa juga, tangan kanan Cikho tak segan mencek*ik Rere.
Kejadian yang benar-benar akan selalu terjadi tak lama setelah Rere memohon, agar Cikho mau memperbaiki hubungan mereka demi Adam. Kemudian, mantan suami Rere tersebut berdalih, apa yang pria itu katakan menjadi peringatan terakhirnya kepada Rere yang masih saja memperjuangkan hubungan mereka demi Adam sang putra.
Karenanya, kini, di antara hidup dan matinya, Rere bersumpah akan melakukan apa pun asal ia dan sang putra diberi kesempatan hidup. Termasuk itu, melupakan Cikho sekaligus menganggap pria itu tak pernah ada dalam hidup mereka. Sungguh apa pun itu akan Rere lakukan asal ia dan sang putra diberi kesempatan untuk hidup, agar ia bisa menjadi orang tua yang lebih baik lagi.
Rere ingin memberi sang putra papah layaknya harapkan sekaligus impian yang selama ini Adam utarakan. Karena sejak lahir, Adam belum pernah merasakan kasih sayang seorang papah. Jangankan sosok papah yang hadir secara langsung, sekadar menunjukkan foto Cikho kepada Adam saja, Rere tidak berani.
Sejauh mengenal di masa lalu, Cikho memang Tuan Muda baji*ngan. Karena andai bukan seorang baj*ingan, mana mungkin pria itu mau menjalin hubungan terl*arang dengannya, secara sadar.
Di masa lalu, Rere yang pernah menjadi sekretaris pribadi Cikho, memang sengaja menjadi pelakor dalam hubungan Cikho yang saat itu sudah akan menikah. Kendati demikian, mereka yang memang berteman baik, juga sama-sama menikmati hubungan terl*arang yang mereka jalani. Keduanya bahkan sempat menikah siri secara diam-diam, atas restu keluarga Rere karena Rere telanjur hamil di luar nikah, hingga lahirlah Adam.
Namun, hancurnya hubungan Cikho dengan wanita yang akhirnya pria itu nikahi secara resmi meski saat itu Rere masih berstatus istri siri, selain masa lalu Cikho yang mengantarkan pria itu masuk ke dalam bui, membuat Cikho dendam sekaligus melampias*kannya kepada Adam.
“Daddy! Tolong kamiiiiii!” ๐
Mendengar jerit ketakutan dari Adam yang terus memanggil sang daddy sekaligus berharap sang daddy menolong layaknya super hero yang akan selalu melindungi istri sekaligus anak-anaknya, air mata Rere menjadi makin sibuk berjatuhan.
“Ya Allah, hamba mohon. Tolong beri hamba kesempatan sekali saja! Terlebih selama ini, hamba belum bisa membahagiakan Adam! Apa pun itu asal Adam bahagia, hamba benar-benar akan melakukannya!” batin Rere untuk ke sekian kalinya.
Keringat dingin terus mengucur di tengah kenyataan Rere yang juga sudah gemetaran hebat. Ia terus memeluk Adam sangat erat. Memastikan putranya itu tidak terkena pecahan kaca jika pada akhirnya, mobil sedan yang mereka tumpangi mendarat. Cukup ia saja yang terluka akibat pecahan kaca maupun luka lainnya. Tidak dengan Adam dan bagi Rere telah menjadi korban nyata dari kesalahannya di masa lalu.
“Daddy Ojan aku takut!” jerit Adam lagi bersamaan dengan mobil sedan mereka yang berakhir terbanting hingga tubuh mereka juga mengalami hal serupa, mengikuti jatuhnya mobil. Kendati demikian, selama itu juga, Rere terus mendekap erat sang putra.
Rere berhasil menahan segala rasa sakit sekaligus ketakutannya. Namun sekali lagi, di tengah kesadaran mereka yang sama-sama sudah nyaris tak tersisa, lagi-lagi yang Adam panggil masih “Daddy Ojan.”
“Ya Allah ... Hamba mohon sekali saja, tolong beri hamba kesempatan untuk membahagiakan Adam. Lindungi dan biarkanlah Adam bahagia hingga akhir. Karena jika mas Ojan memang bahagianya Adam, biarkan hamba mengabulkannya. Hamba akan menerima perjodohan kami, hamba akan menikah dengan mas Ojan kemudian menjadi orang tua yang selalu membahagiakan Adam,” batin Rere nyaris tak sadarkan diri. Alasan yang juga membuat dunianya seolah nyaris berhenti.
Kedua mata Rere yang sudah sangat berat untuk terbuka, masih bisa melihat sedikit cahaya. Termasuk juga dengan ked
ua telinganya. Suara klakson silih berganti sibuk ditekan dari sekitar hingga keadaan di sana masih terasa bising sekaligus mencekam.
Darah segar sudah memenuhi wajah dan membuat kerudung maupun gamis merah jambu Rere, berubah menjadi merah darah. Yang membuat Rere teramat bersyukur, sampai detik ini, ia tetap berhasil mendekap Adam. Meski selanjutnya, Rere tak lagi tahu mengenai apa yang terjadi. Karena baik Rere maupun Adam sama-sama tak sadarkan diri.
Mobil sedan yang Rere dan Adam tumpangi mendarat di tengah jalan yang awalnya dalam keadaan ramai lancar. Beruntung, mobil mereka tak sampai menimpa maupun ditabrak pengendara lain. Meski kecelakaan yang Rere dan Adam alami sudah langsung menimbulkan kepanikan sekaligus kemacetan panjang.
Bunyi sirene dari suara ambulans maupun mobil polisi, akhirnya terdengar selang setelah dua puluh menit dari jatuhnya mobil Rere, berlalu. Yang mana selama itu juga, di malam yang teramat mencengkam, Rere dan Adam hanya menjadi bahan tontonan karena tak ada satu pun yang berani menolong.
***
Rere masih ingat semua itu. Baik itu ancaman, kecelakaan, maupun nazar yang kemudian ia lontarkan. Karenanya, kini, setelah Rere sempat koma selama dua hari akibat kecelakaan yang ia alami, adanya keluarga Ojan di sana, membuat Rere mengambil keputusan besar. Terlebih, Adam yang tak mengalami luka berarti, lagi-lagi sudah langsung lengket kepada Ojan.
“Kalau memang ... Mas Ojan serius sayang ke Adam. Kalau memang, Mas Ojan yakin bisa menjadi daddy yang baik untuk Adam, ... saya siap menikah!” ucap Rere sambil menunduk dalam.
Hati Rere sudah langsung menangis pedih. Sebab keputusannya menerima perjodohan dengan Ojan, otomatis membuatnya harus melupakan keluarga impian yang sangat ingin kembali ia bangun bersama Cikho.
Sampai detik ini Rere sangat yakin, seorang anak akan lebih baik tumbuh dengan orang tua kandungnya dalam formasi lengkap. Masalahnya, Cikho membenci Adam. Nyawa Adam benar-benar terancam terlebih sederet t*eror sudah Adam maupun Rere rasakan. Dan Rere tak mau kejadian mencekam layaknya malam tiga hari lalu, kembali mereka alami.
Kini, meski berat, Rere yang masih menunduk dalam berangsur berkata, “Kalau bisa, hari ini juga, ... hari ini juga kita harus menikah. Karena saat kecelakaan, Adam begitu sibuk memanggil nama mas Ojan. Sementara saya yang mendengarnya refleks bernazar, bahwa saya akan langsung melangsungkan pernikahan dengan Mas Ojan, asal Adam baik-baik saja, ... asal Allah memberi saya kesempatan untuk tetap hidup.”
Rere merasa, dirinya harus segera menikah meski itu dengan Ojan, agar mereka khususnya Adam, baik-baik saja.
Karena meski Ojan terkenal kurang waras dan selalu bertingkah nyeleneh semenjak selalu ditinggal oleh setiap wanita yang dinikahi tepat di malam pertamanya, kepada Adam, Ojan sangat sayang. Ojan selalu memanjakan Adam hingga Adam juga jadi manja kepada pria berusia empat puluh empat tahun itu.
“Mas Ojan mau kan, jadi daddy Adam? Mas Ojan mau, kan, ... sama-sama dengan saya, menjadi orang tua yang akan selalu membahagiakan Adam?” lanjut Rere sembari meremas selimut yang menutupi tubuh bagian bawahnya.
Dari ranjang rawat Rere duduk selonjor, wanita itu menatap saksama pria tua yang tengah ia ajak untuk sama-sama mengarungi rumah tangga, demi Adam sang putra. Air matanya berlinang, dan kali ini ia membiarkannya. Hingga semua mata yang di sana termasuk kedua mata tak berdosa sang putra, menatapnya dengan iba.
Rere yakin, alasan mereka menatapnya iba, bukan semata karena permintaannya. Melainkan juga karena kenyataan Ojan yang memang dikenal kurang waras.